Salah satu amal shalih yang sangat dianjurkan sebagai ibadah utama
di bulan Ramadhan ialah bersedekah. Tapi tentu saja, sebagaimana berakhlaq mulia,
bersedekah juga semestinya tidak hanya dilakukan di bulan Ramadhan, melainkan
selamanya.
Sedekah merupakan bagian dari upaya tadzkiyyatun nafs, membersihkan pribadi,
baik lahir maupun batin. Jika hati bersih, rahmat Allah SWT mudah menghampiri.
Sebab, Allah itu suci, hanya berdekatan dengan yang serba suci.
Dalam Al-Quran, sedekah disebutkan sebagai salah satu ibadah yang utama. Bahkan
dalam kitab suci itu kalimat perintah Allah untuk bersedekah menggunakan huruf
waw ‘athaf, yang biasa digunakan sebagai kata-kata sumpah. Misalnya, Wallahi,
demi Allah. Dengan demikian, sedekah merupakan perintah yang sangat mengikat
dan sangat penting.
Begitu pentingnya sedekah, sehingga dalam Al-Quran terdapat banyak perintah
mengenai amalan utama itu. Misalnya dalam surah Ibrahim ayat 31, “Katakanlah
kepada hamba-hamba-Ku yang beriman, hendaklah mereka mendirikan shalat,
menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi
maupun terang-terangan, sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak
ada jual-beli dan persahabatan.”
Konsep sedekah sesungguhnya tidak semata-mata berkaitan dengan pemberian
materi. Sebab, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Setiap amal yang baik adalah
sedekah.” Maka, sedekah sesungguhnya identik dengan amal kebajikan. Bahkan,
sabda Rasulullah SAW lagi, “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.”
Mengapa sedekah sangat dianjurkan? Barangkali karena sifat alamiah manusia yang
memang sangat sulit berbagi, apalagi menjadi dermawan. Lho, mengapa enggan
memberi? Karena sebagian orang berpikir bahwa, dengan memberi, harta miliknya
akan berkurang. Atau, barangkali mereka berpikir, jangankan untuk orang lain,
untuk diri sendiri saja masih kurang.
Itu sebabnya banyak orang berpikir, sebaiknya menunggu sampai harta cukup dulu,
baru kemudian bersedekah. Padahal, dalam praktek, harta yang dikumpulkan itu
malah tidak pernah cukup, selalu saja kurang, sehingga sedekah pun tertunda.
Dalam masyarakat, banyak kita jumpai orang yang hidupnya telah mapan, bahkan
kaya raya, tapi tetap saja kikir, pelit, bakhil. Bahkan semakin kaya semakin
bakhil, sehingga semakin hari semakin merasa kurang saja. Karena merasa selalu
kekurangan, ia pun enggan bersedekah. Padahal, menurut Al-Quran, kalau kita
ingin dicukupkan rezeki oleh Allah SWT, haruslah bersedia berbagi.
EMPAT KEUTAMAAN
Sedemikian penting dan utamanya bersedekah, sehingga kita dianjurkan
menunaikannya sebagai inisiatif, bukan atas permintaan. Sangat utama ditunaikan
di depan, bukan setelah ada sisa dari suatu harta. Juga jangan diberikan
setelah melaksanakan suatu perbuatan, karena hal itu bukan sedekah, melainkan
syukuran.
Jika sedekah disampaikan di depan, sebagai inisiatif, akan “mengundang”
kekuasaan Allah, yang berjanji melipatgandakan “pengganti” sedekah sampai 700
kali. Simak surah Al-Baqarah ayat 261, “Perumpamaan orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah itu, (sedekah-Nya) serupa sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, setiap bulir (terdapat) seratus biji. Allah
melipatgandakan pahala bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah mahaluas
karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.”
Yakin bahwa Allah tak mungkin ingkar janji, seorang sufi menjadi sangat
dermawan. Dan justru karena sangat dermawan itulah ia tak pernah kekurangan,
bahkan sahabatnya semakin bertambah dan ia semakin dicintai orang. Ada pula ulama yang,
karena sedang sangat membutuhkan dana, malah memperbanyak bersedekah. Dan
hasilnya, Allah melipatgandakan pengganti sedekah yang telah ia keluarkan.
Bagi seorang mukmin, hidup di dunia merupakan kesempatan yang baik untuk
bersedekah, sebagai upaya untuk membangun solidaritas antarmanusia. Sebuah
prinsip yang kelihatannya sangat sederhana dan “aneh”: mumpung masih hidup,
kita harus bersedekah. Lho, mengapa? Sebab, firman Allah, di hari kiamat kelak
tak seorang pun yang bersedia menerima sedekah lagi. Sebab, semua orang terlalu
sibuk degan urusan masing-masing.
Apa sebenarnya keutamaan sedekah? Menurut Rasulullah SAW, ada empat keutamaan.
Pertama, sedekah justru mengundang rezeki. Semakin banyak bersedekah, semakin banyak
rezeki melimpah. “Tidak akan berkurang rezeki orang yang bersedekah, kecuali
bertambah, bertambah, dan bertambah”, sabda Rasulullah.
Kedua, sedekah bisa menyembuhkan penyakit. Karena sedekah dapat membersihkan
hati dan pikiran, dampaknya secara psikologis dapat pula membantu penyembuhan,
berkat ridha Allah SWT. Selain itu, Allah menjanjikan melipatgandakan ganjaran
sedekah hingga 700 kali lipat. Dengan bersedekah Rp.100.000,- misalnya, bukan
tak mungkin akan kembali Rp.70.000.000. Dan dengan uang itulah si sakit
membiayi proses penyembuhannya.
Ketiga, sedekah dapat menolak bala, menahan musibah, menghilangkan kesulitan.
Sabda Rasulullah, “Jika seseorang ingin dihilangkan kesulitannya, diringankan
bebannya, ditolong atas semua permasalahannya, dia harus membantu mereka yang
lebih susah, lebih menderita, lebih bermasalah. Dan bersedekah merupakan upaya
terbaik untuk membantu orang lain.” Sabda Rasulullah SAW lagi, “Bersegeralah
bersedekah. Sebab, musibah dan bencana tidak bisa mendahului sedekah.”
Keempat, sedekah dapat memanjangkan umur. Dengan bersedekah, kehidupan kita
akan dipenuhi kebajikan. Selalu tumbuh kepuasan batin dan merasa lebih
berbahagia, karena dapat membantu orang lain, dan semakin dicintai para
sahabat. Dengan kebajikan, hidup menjadi lebih berkualitas.
Menurut Imam Ghazali, jika orang sudah benar-benar menyadari akan jadi dirinya,
tahu perannya sebagai makhluk sosial, dialah muslim yang baik. Dan muslim yang
baik ialah mereka yang gemar bersedekah. Cukup banyak kisah tentag muslim yang
baik, yang gemar bersedekah, yang kemudian hidupnya berubah. Misalnya, yang
dikisahkan oleh Ustad Yusuf Mansur, pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Quran
Wisata Hati di Bulak Santri, Ciledug, Tangerang.
Alkisah, pada 2003, seorang pedagang bubur ayam di semarang, Jawa Tengah, ingin sekali
memberangkatkan ibunya pergi menunaikan ibadah haji. Demi mewujudkan niat
tersebut, ia membuka rekening khusus untuk tabungan haji. Tapi, setelah dua
tahun menabung, uang yang terkumpul baru mencapai Rp.5 juta, padahal tarif ONH
waktu itu sekitar Rp.25 juta.
Karena memang berniat baik, dan gemar membagikan bubur ayam kepada fakir
miskin, Allah berkehendak menolongnya. Tak lama kemudian, tak disangka-sangka,
ia memenangkan program undian berhadiah mobil mewah seharga hampir Rp.500 juta
di Bank Mandiri tempat ia menabung. Karena tak sanggup membayar pajak, mobil
itu ia jual kepada seorang hartawan.
Ajaib, mobil tersebut di beli dengan harga setengah miliar rupiah. Berarti
Allah melipatgandakan tabungannya hingga 100 kali lipat. Walhasil, bukan hanya
sang ibu tercinta yang pergi haji, si tukang bubur beserta istrinya pun
berziarah ke Tanah Suci. Dan pulangnya menjadi tukang bubur yang kaya raya.
Kisah berikut mengenai seorang pedagang yang punya utang Rp.30 juta. Suatu hari
ia dianjurkan oleh seorang ustad untuk bersedekah, padahal ia tak punya apa-apa
lagi. Sang ustadz malah menganjurkan menjual satu-satunya harta yang masih
dimilikinya, sebuah motor vespa, dan uangnya disedekahkan. Si pedagang menuruti
nasihat itu. Baru saja berniat hendak menjual vespa, abangnya di swiss mengirim
SMS, mengabarkan baru saja mentransfer uang Rp.30 juta.
Seorang insinyur punya utang Rp.2 milliar. Ia bingung. Suatu hari ia menemui
seorang ustadz, dan ia dianjurkan untuk bersedekah. Padahal, ia sudah tidak
punya apa-apa lagi. Namun ustadz itu melihat, ia masih punya sebuah arloji yang
bisa dijual dan uangnya disedekahkan. Insinyur itu pun menurut, menyedekahkan
satu-satunya arloji yang ia beli di Singapura senilai $S 3.000 (27 juta) itu
dengan ikhlas.
Tiga hari kemudian, ia mendapat proyek pembangunan senilai Rp. 5 miliar dan
dibayar kontan di muka. Padahal, pembayaran lazimnya dilakukan setelah proyek
selesai. Akhirnya, ia bisa melunasi utangnya yang Rp.2 milliar, dan
menyedekahkan lagi uang sebanyak 1 miliar.
Kisah seorang sopir di bawah ini juga menarik. Ia tidak bisa membiayai hidup
keluarganya hanya dengan gaji Rp.800.000. Maklum, ia harus menanggung satu
istri dan lima
anak. Suatu hari ia menceritakan kesulitan hidupnya kepada seorang ustadz.
Sang ustadz balik bertanya, “Bapak sudah bersyukur belum?”
Sopir itu menjawab sudah bersyukur, karena masih bisa bekerja. “Sebenarnya saya
tidak ingin mengeluh, tapi kebutuhan saya tidak tercukupi, apalagi anak-anak
bertambah besar”, katanya.
Menanggapi keluhan itu, sang ustadz menjelaskan, jika rasa syukur tidak
diwujudkan dengan berbagi, bersedekah, belum menghasilkan perubahan. Karena itu
ia menyarankan agar pak sopir bersedekah.
Mendengar penjelasan tersebut si sopir berkata, “Bagaimana mungkin bersedekah,
uang yang ada saja masih kurang.”
Dengan tenang ustadz itu menjawab, “Lebih baik Bapak coba dulu, keluarkanlah
sedekah. Inya Allah, Allah SWT akan mencukupi kebutuhan Bapak.”
Tak lama kemudian sopir itu menyedekahkan Rp.100 ribu. Seminggu kemudian, ia
diajak majikannya ke luar kota
untuk urusan bisnis. Ternyata bisnis majikannya sukses, dan sopir itu mendapat
bagian Rp.1 juta.
Masih ada kisah mengenai keberkahan sedekah yang dialami seseorang marbot
masjid. Ketika ia sedang asyik membersihkan masjid, tiba-tiba datang seorang
ibu minta uang Rp.10 ribu untuk ongkos pulang. Si marbot punya Rp.15 ribu, dan
langsung menyerahkannya kepada ibu yang sangat membutuhkan itu. Seminggu
kemudian, ia mendapatkan sumbangan uang dari para jamaah, khusus untuk si
marbot. Setelah dihitung, jumlahnya mencapai Rp.1.5 juta.
Sekitar tahun 1980, seorang pedagang gorengan di jakarta, selama tiga hari melihat seorang
bocah laki-laki lusuh berlalu-lalang dengan wajah sedih di depan gerobak
dagangannya. Dia tahu, anak itu menginginkan sepotong-dua potong gorengannya
secara gratis. Karena tidak berani minta, ia hanya memandang gerobak gorengan
itu dari kejauhan.
Pada hari keempat, pedagang gorengan itu menyisakan sepotong buntut singkong
goreng yang biasanya tidak dijual. Dipanggilnya bocah itu sambil
mengacung-acungkan sepotong singkong kecil itu. Tak menunggu lama, si bocah
lansung berlari menyambar singkong itu seraya berucap, “Terima kasih, bang.”
Matanya berbinar, tapi senyumnya terkembang.
Dua puluh empat tahun kemudian, tukang gorengan itu masih berjualan di tempat
yang sama. Suatu hari sebuah mobil mewah berhenti di depan gerobaknya yang
diparkir di tengah perkampungan kumuh. Penumpangnya, seorang pria muda
berpenampilan wah, menghampiri pedagang gorengan itu. Ketika berhadapan, si
pedagang gorengan seperti tak peduli. Tapi ia bingung ketika si pemuda perlente
itu mendadak berucap, “Bang, ada buntut singkong?”
“Kagak ada, Mas! Buntut singkong mah dibuang. Kenapa kagak beli yang lain aja?
Noh, ada pisang sama singkong goreng”, ujar si pedagang gorengan itu.
“Saya kangen ama buntut singkongnya, Bang. Dulu, Abang kan pernah ngasih saya buntut singkong
goreng,” jawab pemuda itu, tersenyum
“Dulu, ketika saya masih kecil, dan ayah saya baru saja wafat, tidak ada yang
membiayai hidup saya. Temen-temen mengejek karena saya tidak bisa jajan. Selama
empat hari saya berlalu-lalang di depan gerobak Abang ini, sampai Abang
memanggil saya memberi sepotong buntut singkong goreng yang langsung saya
sambar,” tuturnya.
Si pedagang gorengan terperangah. Dia tidak mengira sepotong buntut singkong,
yang biasanya dibuang, bisa membuat pemuda itu mendatanginya dengan keadaan
yang benar-benar berbeda. Si pedagang akhirnya ingat pada wajah yang pernah
dikenalnya 24 tahun silam. “Yang saya beri dulu kan cuma buntut singkong. Kenapa kamu masih
ingat sama saya?” tanya pedagang itu penasaran.
“Abang tidak sekadar memberi saya buntut singkong, tapi juga kebahagiaan,”
papar si pemuda itu, lalu bercerita bahwa sesaat setelah menyambar singkong itu
dia langsung memamerkannya kepada teman-temannya, ingin membuktikan bahwa dia
masih bisa jajan. Sesuatu yang dianggap remeh, tapi baginya itu membuatnya
sangat bahagia sehingga ia berjanji suatu saat akan membalas budi baik pedagang
gorengan itu.
“Saya mungkin tidak bisa membalas budi baik Abang. Tapi, saya ingin
memberangkatkan Abang berhaji. Semoga Abang bahagia”, ujar si pemuda. Pedagang
gorengan itu hampir-hampir tidak percaya. Dua puluh empat tahun silam ia telah
membahagiakan seorang anak yatim. Maka Allah pun membalas amal shalihnya itu,
sebab ayahanda semua anak yatim adalah Rasulullah SAW.
Ada lagi kisah
seorang pasien yang menurut dokter sudah tak punya harapan hidup lagi.
Menyadari nasib buruknya itu, si pasien berusaha membuat sisa umurnya yang
tinggal sedikit untuk beramal shalih.
Ia mengumpulkan delapan bayi yatim yang masih merah, merawatnya dan mendidiknya
dengan penuh kasih sayang. Ketika saat-saat terakhirnya (menurut perkiraan
dokter) sudah tiba, anehnya ia justru lebih sehat. Bahkan sampai kini ia masih
hidup. Malah, antara lain, ia menjadi ketua grup senam beranggotakan 2.000
orang. Bayi-bayi yang dirawatnya pun sudah dewasa, bahkan sudah ada yang
menikah. Allahu akbar!
Percaya atau tidak, sedekah ternyata juga dapat mempermudah seseorang
mendapatkan jodoh. Ini kisah tentang seorang wanita berusia 30-an tahun yang
sulit mendapat jodoh, tapi tiba-tiba dilamar empat pria. Sebagai muslimah yang
baik, ia berserah diri kepada Allah SWT, dan satu-satunya tempat curhat adalah
kakeknya. Sang kakek pun menyarankan agar ia rajin bersedekah.
Ia lalu datang ke sebuah masjid yang sedang dalam tahap pembangunan, minta
perincian harga empat macam bahan material yang sedang dibutuhkan oleh panitia
pembangunan. Maka ia pun menyerahkan uang sejumlah harga untuk membeli bahan
material yang dibutuhkan. Beberapa waktu setelah itu, datanglah seorang duda
berniat mempersuntingnya, tapi ayahnya tidak setuju.
Di hari yang lain bertandanglah seorang pemasok berbagai jenis barang, juga
berniat untuk melamarnya, tapi kali ini ibunya tidak setuju.
Tak lama kemudian, datanglah seorang pria ingin mempersuntingnya, tetapi keburu
pria itu dijodohkan dengan sepupunya, hingga urunglah niatnya untuk melamar si
wanita idaman.
Di lain waktu, ia diperkenalkan dengan seorang pemuda dalam sebuah acara di
masjid. Hari demi hari berlalu, hubungan mereka semakin dekat, dan si pemuda
pun bermaksud melamarnya. Agar hati lebih mantap, wanita itu menunaikan shalat
Istikharah, mohon petunjuk kepada Allah SWT. Kemudian ia bermimpi melihat
matahari terbit, dan ternyata pemuda itulah jodohnya.
Lihatlah isyarat yang semula tak tampak tapi belakangan kelihatan jelas, empat
macam sumbangan untuk pembangunan masjid agaknya isyarat empat pria yang datang
melamar. Namun, sang wanita tetap menyerahkan pilihannya kepada Allah, Sang
Pemberi Jodoh. Dan mimpi tentang matahari terbit itu ternyata jadi kenyataan:
calon suami wanita itu bernama Syamsul Falah, si matahari kemenangan.
Jangan heran jika sedekah juga mampu mengembalikan suami yang hilang. Suatu
hari, seorang ibu menerima kabar bahwa suaminya mengalami kecelakaan, dan ia
harus membayar biaya perawatan sampai puluhan juta rupiah. Padahal ia tak punya
harta yang nilainya sebanyak itu.Tapi, ketika ia menjenguk ke rumah sakit,
ternyata suaminya raib. Setahun sudah suaminya hilang.
Suatu hari ibu tersebut mengadukan halnya kepada seorang ustadz, yang
menyarankannya untuk bersedekah. Tapi, si ibu bilang tak punya harta apa-apa,
dan untuk makan saja sulit.Tiba-tiba, ustadz itu melihat sebentuk cincin yang
melingkar di jari manisnya. “Cincin itu juga bisa disedekahkan”, ujar ustadz
itu.
“Tidak mungkin. Ini satu-satunya benda peninggalan suami saya,” katanya.
“Lho, justru itu. Nilai sedekah akan sangat tinggi bila yang disedekahkan
adalah benda yang sangat dicintai,” kata ustadz itu lagi. Akhirnya, ia menjual
cincin tersebut dan menyedekahkannya ke sebuah yayasan yatim piatu. Setelah
itu, dengan langkah ringan ia pun pulang. Dari kejauhan rumahnya tampak sepi.
Biasanya setiap sore anak-anaknya bermain di halaman.
Ketika ia mengetuk pintu dan mengucapkan salam seperti kebiasaannya, mendadak
ia terperanjat. Begitu pintu terbuka, yang tampak adalah wajah suaminya. Orang
yang selama setahun hilang, tiba-tiba kembali pulang, entah dari mana, Sub-hanallah!
Bahwa sedekah bisa menolak mara bahaya, ikuti kisah-kisah ini. Suatu pagi,
seorang ustads di Tangerang bersedekah kepada rekannya sesama ustadz. Menjelang
sore, ustadz itu pergi ke Gunung Putri, Bogor,
hendak mengajar. Di jalan tol, tiba-tiba mobilnya bertabrakan dengan mobil
lain, tapi alhamdulillah ia selamat. Sang ustadz tidak heran, karena itu pasti
kehendak Allah. Ia berkata dalam hati, “Mungkin karena tadi pagi saya sudah
bersedekah.”
Seorang ibu selamat dari bencana tsunami di Aceh beberapa waktu lalu. Sebelum
bencana, dia dan seluruh warga bergotong royong membangun masjid yang belum
beratap, berpintu, dan berjendela. Ketika bencana tiba, seluruh warga selamat
karena berlindung di dalam masjid yang mereka bangun.
Banyak hikmah berharga yang bisa dipetik dari kisah-kisah di muka. Kata Ustadz
Yusuf Mansur, “Kalau mau rezeki dicukupkan oleh Allah, kita harus mau berbagi.
Dengan jalan bersedekah. Siapa yang membutuhkan pertolongan dan kemudahan dari
Allah, berbagi menjadi sebuah keharusan. Sebab, Allah akan membantu hamba-Nya
jika ia mau membantu orang lain.”
Apalagi Allah juga berjanji akan mengabulkan permintaan yang keluar dari mulut
orang yang tangannya rajin memberi. Sang Maha Pemurah selalu punya cara untuk
melimpahkan rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Berkah sedekah
hanya bisa dirasakan oleh orang yang bersedekah. Tapi, ia juga harus ikhlas.
Akibat yang baik selalu berawal dari perbuatan baik.
Jika kita mengabaikannya, boleh jadi harta karunia Allah itu akan ditarik
kembali. Kalau tidak ditarik kembali, bisa jadi pemiliknya akan kehilangan rasa
menikmati. Memiliki harta berlimpah, tapi tergolek tak berdaya di tempat tidur,
terkena stroke, hingga kaki dan tangan lumpuh, apa gunanya. Atau terkena
penyakit gula, asam urat, kolesterol.
“Karena itu, janganlah kikir dalam bersedekah. Kekayaan yang ditimbun hanya
akan menjadi beban di hari kiamat. Allah sudah memperingatkan, kekayaan yang
ditimbun dengan sikap kikir akan dikalungkan di leher pemiliknya”, ujar Ustadz
Yusuf Mansur lagi. Ia kemudian mengutip sebuah hadist qudsi, “Barang siapa
berniat sedekah, kecepatan Allah membalasnya lebih dari gerakan sedekahnya.”