Laman

Selasa, 22 Mei 2012

Kisah Nabi Ibrahim a.s.


Kisah Nabi Ibrahim As

Ditulis pada oleh Suryaningsih

Allah telah menceritakan dalam kitab-Nya biografi Nabi Ibrahim AS dalam sejumlah ayat, karena di dalamnya terdapat teladan yang baik bagi kita, dimana keteladanan itu secara umum dapat kita temukan pada biografi para nabi dan secara secara khusus pada biografi Nabi Ibrahim AS.
Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada Nabi kita SAW dan kepada kita supaya mengikuti ajaran agamanya dalam hal yang berkaitan dengan akidah, akhlak serta ibadah baik yang berhubungan langsung dengan Allah maupun yang berhubungan dengan manusia.
Allah Ta’ala memberi petunjuk kepada Nabi Ibrahim AS, mengajarinya ilmu sejak kanak-kanak serta memperlihatkan kepadanya kerajaan langit dan bumi. Karena itu, ia menjadi manusia yang paling agung dalam segi keyakinan, ilmu serta kekuatan dalam urusan agama Allah serta kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya.

Allah mengutusnya kepada kaum musyrikin yang menyembah matahari, bulan dan bintang yaitu kaum ash-Shab’iah, yaitu suatu kaum yang paling jelek dan paling berbahaya terhadap manusia, sehingga Nabi Ibrahim AS menyeru mereka ke jalan Allah dengan berbagai macam cara.
Pertama, Nabi Ibrahim AS menyeru mereka dengan cara-cara yang tidak memungkinkan orang yang berakal menghindar darinya. Ketika mereka menyembah tujuh buah planet termasuk di dalamnya matahari serta bulan, maka mereka pun membangun gedung-gedung yang disebut al-Hayaakil (kuil-kuil).
Nabi Ibrahim AS berdialog dengan mereka: “Hai kaumku, setelah kami memperhatikan dengan seksama, bahwa ternyata tidak satu pun dari planet-planet itu yang memiliki sifat Uluhiyyah dan Rububiyyah (ketuhanan): “Ketika malam menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Rabbku.” (Al-An’am: 76).
Dialog memiliki perbedaaan dengan pembicaraan lainnya dalam membahas sejumlah masalah. Adapun perbedaan tersebut di antaranya: orang yang berdialog akan mengatakan sesuatu yang diyakininya supaya dikemukakan hujjah kepadanya dan ia pun akan mengemukakan hujjah kepada lawan bicaranya seperti Nabi Ibrahim AS mengemukakan hujjah dalam kasus perusakan berhala-berhala ketika mereka bertanya kepadanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap ilah-ilah kami, hai Ibrahim?” (Al-Anbiya’: 62). Ketika itu Nabi Ibrahim AS menunjuk berhala yang tidak dihancurkannya, seraya berkata, “Sebenarnya patung yang besar itu yang melakukannya.” (Al-Anbiya’: 63).
Tujuan Nabi Ibrahim AS melakukan tindakan itu adalah memaksa mereka supaya mengemukakan hujjah, dan ternyata hal itu berhasil.
Sehingga memudahkan kita untuk memahami perkataannya: “Inilah Rabbku.” (Al-An’am: 76). Yakni jika bintang-bintang itu berhak disebut ilah setelah memperhatikan keadaan dan sifatnya, maka bintang-bintang itu pantas menjadi Rabbku. Sedang Nabi Ibrahim AS telah mengetahui berdasarkan ilmu yakin, bahwa bintang-bintang tersebut tidak berhak disebut sebagai Rabb atau ilah, melainkan hanya susunan atom. Akan tetapi dengan perkataannya itu, Nabi Ibrahim AS bermaksud memaksa mereka supaya mengemukakan hujjah: “Tetapi tatkala bintang itu tenggelam.” (Al-An’am: 76). Yakni tidak tampak (menghilang), maka “Dia berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” (Al-An’am: 76).
Sesungguhnya mahluk yang keberadaannya antara ada dan tiada atau tampak dan menghilang, niscaya setiap orang yang berakal akan meyakini bahwa mahluk tersebut tidak sempurna, sehingga tidak berhak disebut ilah. Kemudian Nabi Ibrahim AS beralih kepada bulan, dan ketika ia melihatnya terbit, seraya berkata, “Inilah Rabbku.” Tetapi setelah bulan itu tenggelam dia berkata, “Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (Al-An’am: 77). Kemudian Nabi Ibrahim AS memperlihatkan kepada mereka rahmat Allah dan keselamatan dari-Nya yang dikaruniakan kepadanya.
Nabi Ibrahim AS menggambarkan dirinya dalam gambaran yang sesuai dengan mereka, akan tetapi tidak dalam gambaran Taqlid (peniruan) melainkan dalam gambaran yang dimaksudkan untuk mengemukakan hujjah mengenai ketuhanan bintang serta bulan yang kini menghilang. Menurut logika dan keterangan nash, maka sangatlah jelas kebathilan mentuhankan keduanya. Karena itulah, hingga sekarang aku belum memiliki keputusan tentang Rabb dan Ilah yang agung.
Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit” , maka Nabi Ibrahim AS berkata, “Ini yang lebih besar.” (Al-An’am: 78). Yakni lebih besar daripada bintang dan bulan, tetapi apabila berlaku padanya ketentuan sebagaimana yang berlaku pada keduanya, maka keberadaannya adalah seperti keduanya (tidak patut dijadikan sebagai Ilah atau Rabb).
Allah Ta’ala berfirman, “… Tatkala matahari itu telah terbenam.” (al-An’am: 78). Nabi Ibrahim AS telah menegaskan semua pengakuannya yang telah lalu, bahwa beribadah kepada sesuatu yang suka menghilang adalah perbuatan yang bathil.
Ketika itu Nabi Ibrahim AS mengharuskan mereka kepada kemestian tersebut serta memaksa mereka supaya mengemukakan hujjah, seraya ia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku ….” (al-An’am: 78-79). Yakni lahir serta bathinku. Nabi Ibrahim AS berkata, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan-Nya.” (al-An’am: 79).
Itulah hujjah yang logis dan jelas, bahwa Pencipta alam yang tinggi dan rendah adalah Dzat yang harus disembah dengan cara mentauhidkan-Nya serta ikhlas beribadah kepada-Nya, sedangkan tata surya, bintang-bintang dan planet yang lainnya adalah mahluk yang diciptakan, yang tidak memiliki sifat-sifat yang menjadikannya pantas disembah. Selanjutnya mereka menakut-nakuti Nabi Ibrahim AS dengan berbagai macam siksaan serta ancaman dari ilah mereka yang akan menimpakan keburukkan kepadanya. Hal itu menunjukkan bahwa orang-orang musyrik ialah orang-orang yang memiliki khayalan yang kacau serta pandangan yang rendah terhadap sesuatu yang mereka yakini, bahwa ilah-ilah mereka itu akan memberikan manfaat kepada orang yang menyembahnya dan mendatangkan kemadaratan kepada orang yang mengabaikannya atau mencelanya.
Kemudian Nabi Ibrahim AS berkata kepada mereka sebagai penjelasan bahwa ia tidak takut sama sekali dengan ancaman atau siksaan ilah mereka, malah ketakutan yang sebenarnya justru terdapat pada dirimu, seraya ia berkata, “Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah diantara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui.” (al-An’am: 81).
Allah menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang umum yang mencakup kisah tersebut dan kisah lainnya di sepanjang zaman. Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-An’am: 82).
Kemudian Allah Ta’ala mengangkat derajat Nabi Ibrahim AS kekasih-Nya dengan ilmu dan hujjah yang dikemukakannya, kemudian melemahkan mereka dalam membela kebathilan mereka, tetapi mereka bungkam seribu bahasa dan tidak mengemukakan hujjah kepadanya; sehingga nasehat, peringatan serta hujjah tidak bermanfaat bagi mereka.
Nabi Ibrahim AS terus-menerus menyeru mereka supaya beribadah kepada Allah dan melarang mereka dari ibadah yang biasa mereka lakukan dengan larangan yang khusus dan yang umum. Adapun seruannya yang lebih khusus ditujukan kepada Azar bapaknya, dimana ia mengajak bapaknya dengan berbagai cara yang bermanfaat, tetapi “Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Rabbmu, tidaklah akan beriman. Meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan adzab yang pedih.” (Yunus: 96-97).
Adapun di antara sejumlah seruannya yang disampaikan kepada bapaknya adalah “ketika ia berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak medengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam: 42-43).
Perhatikanlah, betapa indahnya perkataan tersebut yang dapat memikat hati (kecuali hati yang keras), dimana Nabi Ibrahim AS tidak mengatakan kepada bapaknya: “Sesungguhnya ayahanda adalah seorang yang bodoh.” Hal itu dimaksudkan supaya bapaknya tidak berpaling dan lari karena mendengar perkataan yang kasar, melainkan ia berkata kepada bapaknya dengan perkataan sebagai berikut: “Wahai bapakku, janganlah kamu meyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab oleh Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 44-45).
Nabi Ibrahim AS mengganti cara menyerunya dengan cara lain dengan harapan mudah-mudahan bermanfaat bagi bapaknya, akan tetapi seiring dengan seruannya maka bapaknya bertanya kepadanya: “Bencikah kamu kepada ilah-ilahku, hai Ibrahim! Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” (Maryam: 46).
Begitulah kenyataan yang terjadi, dan Nabi Ibrahim AS tidak benci dan tidak menanggapi perkataan bapaknya dengan sebagian bantahannya, tetapi menanggapi keburukkan (ancaman besar) tersebut dengan kebaikkan, seraya berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu.” (Maryam: 47). Yakni aku tidak akan berkata kepadamu, kecuali perkataan yang baik, yang tidak mengandung kebencian dan kekasaran di dalamnya. Meskipun demikian, aku tidak akan berputus asa memohonkan petunjuk bagimu: “… Aku akan meminta ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam: 47). Yakni sesungguhnya Allah sangat baik dan penuh kasih sayang kepadaku. Dia pun telah menjanjikan kasih sayang-Nya bagiku, membimbingku menuju arah yang baik dan mengabulkan permohonanku.
Nabi Ibrahim AS dan kaumnya senantiasa terlibat dialog dan perdebatan, dan ia selalu mematahkan dalil, hujjah dan keraguan mereka. Nabi Ibrahim AS mampu mengalahkan hujjah mereka dengan hujjah yang agung dan menghadapi kekasaran, kelaliman, kekuasaan serta kekuatan mereka tanpa rasa takut dan khawatir.
Ketika pada suatu hari mereka bepergian keluar wilayah mereka untuk mengadakan suatu perayaan dan Nabi Ibrahim AS ikut pergi bersama mereka, lalu ia melihat ke arah bintang-bintang, seraya berkata, “Sesungguhnya aku sakit.” (ash-Shafat: 89). Tindakan itu dilakukannya, karena ia merasa khawatir akan terlewatkan melakukan perbuatan yang berbeda dengan perayaan tersebut, sehingga tidak akan mendapatkan hasil yang diharapkannya, karena ia secara terang-terangan menunjukkan kebencian atas perayaan tersebut dan menentang keras keseriusan keluarganya dalam melaksanakannya. Setelah Nabi Ibrahim AS merasa yakin bahwa mereka seluruhnya telah pergi ke gurun pasir, maka ia segera pergi menuju bangunan tempat penyimpanan berhala-berhala dan menghancurkan semua berhala hingga berkeping-keping kecuali sebuah berhala yang paling besar yang dibiarkannya tetap utuh, supaya ia dapat memberikan hujjah kepada mereka. Ketika mereka pulang dari perayaan itu maka mereka langsung pergi mendatangi berhala-berhala mereka dengan penuh kecintaan dan ketika itu mereka menyaksikan sebuah pemandangan yang sangat mengerikan yang disaksikan para pemilik berhala-berhala itu, seraya mereka berkata, “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap ilah-ilah kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zhalim.” Mereka berkata, “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini.” (al-Anbiya’: 59-60). Yakni yang mencacinya dan menyifatinya dengan sifat-sifat yang kurang pantas dan buruk, “yang bernama Ibrahim.” (al-Anbiya’: 60). Setelah mereka meyakini bahwa Nabi Ibrahim AS yang telah menghancurkan berhala-berhala tersebut, seraya berkata, “(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.” (al-Anbiya’: 61). Yakni mempersaksikannya di depan orang banyak dan mencacinya dengan cacian yang kasar. Selanjutnya mereka menjatuhkan hukuman kepadanya.
Tindakan itulah yang justru dikehendaki Nabi Ibrahim AS supaya dapat memperlihatkan kebenaran di depan mata dan pendengaran mereka. Setelah orang-orang hadir dan berkumpul maka mereka menghadirkan Nabi Ibrahim AS, seraya bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap ilah-ilah kami, hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab, “Sebenarnya patung yang besar itu yang melakukannya.” (al-Anbiya’: 62-63). Nabi Ibrahim AS menunjuk sebuah berhala yang paling yang selamat dari kehancuran. Dengan isyarat tersebut, maka mereka dihadapkan pada dua pilihan:
- Mengakui kebenaran, karena tidaklah masuk akal bagi siapa pun bahwa sebuah benda mati yang terbuat dari materi tidak mungkin melakukan perbuatan itu.
- Mereka akan mengatakan ya bahwa berhala yang besar itulah yang melakukannya dan kamu selamat dari kutukannya. Nabi Ibrahim AS yakin, bahwa mereka tidak akan mengatakan kemungkinan yang lain.
Nabi Ibrahim AS berkata, “… maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (al-Anbiya’: 63). Perkataan itu merupakan kritikan terhadap sesuatu yang mustahil yang mereka ketahui.
Ketika itu kebenaran terlihat dengan jelas dan mereka yang hadir mengetahui kebenaran itu sehingga mereka berkata terhadap diri mereka sendiri: “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)”, kemudian kepala mereka jadi tertunduk ….” (Al-Anbiya’: 64). Yakni tidaklah pengakuan mereka akan bathilnya ketuhanan berhala-berhala itu, melainkan hanya dalam waktu sementara. Setelah itu, mereka langsung mengemukakan hujjah yang tidak mungkin mengingkari ketuhanan berhala-berhala itu, sehingga mereka pun segera kembali kepada keyakinan yang bathil yang telah berakar dalam hati mereka dan menetapkan sifat-sifat yang pantas bagi berhala-berhala itu; jika ditemukan sifat-sifat yang menafikan ketuhanan berhala-berhala itu, dimana sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang baru yang disifatkan, dan setelah itu; sifat itu hilang. “… kemudian kepala mereka jadi tertunduk, (lalu berkata): “Sesungguhnya kamu(hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.” (Al-Anbiya’: 64-65).
Mereka mendapat celaan dan cemoohan setelah diutarakan kepada mereka hujjah yang dengannya diketahui bantahan yang membuat kepala-kepala yang bersaksi tertunduk. Nabi Ibrahim AS berkata kepada mereka, “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfa’at sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu.” Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami.” (al-Anbiya’: 66-67). Jika saja mereka memiliki akal yang sehat, niscaya mereka tidak akan beribadah kepada sesuatu yang tidak dapat mendatangkan manfaat atau madharat, dan tidak dapat membela dirinya dari orang yang melakukan kejahatan kepadanya.
Ketika kebingungan mereka dikalahkan dengan dalil yang nyata dan hujjah yang kuat, maka mereka beralih menggunakan kekuatan, kekasaran dan kekerasan mereka untuk menjatuhkan siksaan kepada Nabi Ibrahim AS, seraya berkata, “Bakarlah dia dan bantulah ilah-ilah kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” (al-Anbiya’: 68). Mereka menyalakan api yang besar sekali dan melemparkan Nabi Ibrahim AS ke dalam kobaran api tersebut.
Dalam menghadapi keadaan tersebut, maka Nabi Ibrahim AS berkata, “Cukuplah Allah menjadi penolongku dan Allah adalah sebaik-baiknya Pelindung.”*
Allah Ta’ala berfirman kepada api: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjaddi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (al-Anbiya’: 69), sehingga tidak membahayakannya sedikitpun.
Allah Ta’ala berfirman, “Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim.” (al-Anbiya’: 70), yakni untuk menolong ilah-ilah mereka dan menanamkan ketundukan dan pengagungan kepadanya dalam hati mereka dan hati para pengikut mereka. Akibat dari perbuatan makar tersebut adalah kembali ke diri mereka sendiri dan Nabi Ibrahim AS mendapatkan kemenangan di hadapan orang-orang tertentu dan masyarakat umum dan di hadapan para pemimpin serta rakyat jelata.
Penentangan terhadap Nabi Ibrahim AS hingga dilakukan raja mereka (Namrud) berkenaan dengan Rabbnya dengan sikap sombong dan lalim “karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan).” (al-Baqarah: 258). Nabi Ibrahim AS menjawab, “Rabbku ialah Yang menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berkata, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan.” (al-Baqarah: 258).
Nabi Ibrahim AS mematahkan dalil raja itu dengan cara yang jitu, seraya berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat”, lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (al-Baqarah: 258).
* Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, seraya berkata: “Cukuplah Allah sebagai penolong kami dan Allah adalah sebaik-baiknya Pelindung” diucapkan Ibrahim AS ketika dilemparkan ke dalam kobaran api, dan Muhammad SAW mengucapkannya saat dikatakan kepadanya: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baiknya Pelindung.” (Ali Imran: 173). (HR. al-Bukhari).
Allah telah menyempurnakan ni’mat yang dikaruniakan kepada Nabi Ibrahim AS dan telah mencurahkan rahmat kepada Sarah istrinya yang sudah tua, yang mandul dan merasa putus asa dengan memberinya kebahagiaan dengan kelahiran seorang anak yang mulia yaitu Nabi Ishaq AS, dan setelah kelahiran Ishaq AS disusul dengan kelahiran puteranya yang lain yaitu Nabi Ya’qub AS.
Ketika Allah mengutus Nabi Luth AS kepada kaumnya dan mereka mengusirnya, maka saat itu Allah menetapkan balasan siksa atas mereka. Nabi Luth AS adalah murid Nabi Ibrahim AS, dan Nabi Ibrahim AS memiliki sejumlah hak terhadapnya, sehingga para malaikat yang diutus untuk membinasakan kaum Nabi Luth AS menemui Nabi Ibrahim AS dalam wujud manusia.
Ketika para malaikat menemuinya dan mengucapkan salam kepadanya maka Nabi Ibrahim AS menjawab ucapan salam mereka dan segera menyambut mereka dengan sambutan layaknya kepada tamu. Allah Ta’ala telah memberinya rezki yang berlimpah, kemuliaan yang agung serta rumahnya menjadi tempat singgah bagi para tamu.
Nabi Ibrahim AS segera mendatangi keluarganya secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui para tamunya dan membawa anak sapi yang gemuk, lalu membakar dagingnya di atas alat pemanggang daging dan menghidangkannya ke hadapan mereka, seraya berkata, “Silahkan kamu makan.” (Adz-Dzariyat: 27).
Allah SWT berfirman, “Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka.” (Hud: 70). Karena ia menyangka bahwa mereka itu adalah para pencuri.*
Kemudian “Malaikat itu berkata, “Jangan kamu takut. sesungguhnya kami adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Luth.” (Hud: 70).
Sarah memberikan pelayanan yang maksimal kepada mereka dan mereka memberikan kabar gembira kepada Nabi Ibrahim AS dengan kelahiran seorang putera yang alim (Ishak). Mendapat kabar tersebut, maka Sarah menjerit serta menepuk wajahnya dengan penuh keheranan, sehingga bercampur antara perasaan bahagia, bingung serta ragu-ragu, seraya berkata, “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua.” (Hud: 72). Sedang sebelumnya aku adalah seorang perempuan yang mandul “dan ini suamiku dalam keadaan yang sudah tua pula Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.” (Hud: 72). Allah memberikan kebahagiaan kepada keduanya dengan kelahiran Nabi Ishaq AS yang kemudian disusul dengan kelahiran Nabi Ya’qub AS.
Berkenaan dengan kebahagiaan itu, maka Nabi Ibrahim AS memuji Allah atas kesempurnaan ni’mat-Nya, seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq.Sesungguhnya Rabbku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do’a.” (Ibrahim: 39).
CATATAN:
* Ketika Nabi Ibrahim AS melihat para tamunya tidak memakan makanan yang dihidangkannya, maka ia pun merasa takut bahwa mereka mempunyai maksud jahat, karena jika tamu berkenan memakan makanan yang dihidangkan tuan rumah, niscaya hal itu dapat mendatangkan ketentraman kepada tuan rumah. Lihat kitab ar-Risaalah at-Tabwikiyyah (hal. 130)
Perlu diketahui bahwa semua yang telah dikisahkan oleh Allah kepada kita dari biografi Nabi Ibrahim AS, maka kita diperintahkan supaya memperhatikannya dengan perintah yang bersifat khusus:
Allah Ta’ala berfirman, “(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.” (Al-Hajj: 78). Yakni hendaklah kamu mengikutinya. Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” (An-Nahl: 123). Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata): “Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (Al-Mumtahanah: 4).
Apa yang disampaikan Nabi Ibrahim AS mengenai masalah tauhid, pokok-pokok agama, keyakinan, akhlak dan semua yang dikisahkan kepada kita tentang beritanya, maka mengikutinya termasuk pengamalan dari ajaran agama kita. Karena perintah itu masih bersifat umum yang mencakup seluruh perilakunya, maka Allah mengecualikan salah satu perilakunya sebagaimana ditegaskan di dalam firman-Nya, “Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu.” (Al-Mumtahanah: 4). Janganlah kamu mengikutinya dalam memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik. Adapun permohonan ampunan Nabi Ibrahim AS bagi bapaknya merupakan suatu janji yang telah dijanjikan kepadanya. Ketika Allah Ta’ala menjelaskan kepadanya bahwa bapaknya termasuk musuh Allah, maka ia pun berlepas diri darinya.
Faidah lainnya, bahwa Allah SWT telah menjadikan Nabi Ibrahim AS sebagai kekasih-Nya, yaitu orang yang memiliki derajat yang tinggi dalam hal kecintaan (kepada Allah), dimana tidak ada seorang pun yang mampu mencapai derajat tersebut, kecuali dua orang kekasih-Nya; yaitu Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW.
Faidah lainnya, bahwa berbagai macam kemuliaan telah dikaruniakan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS, dimana Allah telah menjadikan keturunannya sebagai nabi dan memberinya kitab. Selain itu telah keluar dari tulang sulbinya dua golongan umat, yang keduanya merupakan bangsa-bangsa Arab yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan Bani Israil. Allah telah memilihnya untuk membangun rumah-Nya (Baitullah) yang merupakan rumah yang mulia dan rumah yang pertama dibangun untuk dijadikan sebagai tempat beribadah, memberinya anak-anak setelah tua atau lanjut usia, yang banyak diceritakan di barat dan timur, hati manusia dipenuhi oleh perasaan cinta kepadanya dan lidah mereka banyak memberikan sanjungan dan pujian kepadanya.
Faidah lainnya, bahwa Allah telah meninggikan derajat Nabi Ibrahim AS dengan ilmu, keyakinan dan kekuatan hujjah. Allah Ta’ala berfirman, “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) dilangit dan dibumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (Al-An’am: 75). Kemudian dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 83).
Kerinduannya kepada pencapaian tujuan akhir dan puncak ilmu diperlihatkannya dengan pertanyaan yang diajukannya kepada Rabbnya, sebagaimana disinyalir oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati.” Allah berfirman, “Apakah kamu belum percaya.” Ibrahim menjawab, “Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya.” Allah berfirman, “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu jinakanlah burung-burung itu kepadamu, kemudian letakanlah tiap-tiap seekor daripadanya atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang kepada kamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 260).
Faidah lainnya, bahwa seseorang yang berniat melakukan ketaatan serta mengerahkan kemampuannya dalam mengusahakan sebab-sebab yang dapat mewujudkan niatnya dan ia menghadapi rintangan yang menghalangi kesempurnaan ketaatannya. Meski ketaatannya tidak sempurna, tetapi Allah tetap memberinya pahala yang sempurna, sebagaimana Allah firmankan di dalam ayat yang berkenaan dengan kasus orang yang berhijrah yang wafat sebelum sampai ke tempat yang dituju.
Juga sebagaimana Allah firmankan dalam ayat yang berkenaan dengan kisah penyembelihan Nabi Isma’il AS, bahwa Allah telah menyempurnakan balasan pahala bagi Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isma’il AS ketika keduanya berserah diri kepada Allah dan mentaatiNya. Kemudian Allah Ta’ala menghilangkan kesulitan itu dari keduanya serta membalas keduanya dengan balasan yang sempurna; baik balasan yang bersifat duniawi maupun yang bersifat ukhrawi.
Faidah lainnya, bahwa apa yang terdapat dalam kisah Nabi Ibrahim AS yang berkenaan dengan etika berdebat, cara-caranya, langkah-langkah yang bermanfaat (tepat), tata cara mematahkan argumentasi lawan berdebat dengan caca-cara yang jelas yang diketahui orang-orang yang berakal; menggiring lawan berdebat kepada penyadaran akan kebathilan madzhabnya dan mengemukakan argumen kepada orang-orang yang ingkar dan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang patut mendapat petunjuk.
Faidah lainnya, bahwa di antara ni’mat Allah kepada seorang hamba ialah pemberian anak-anak yang shalih, dan ia wajib memuji Allah dan berdo’a kepada-Nya untuk kebaikan keturunannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS yang tertera dalam perkataannya: “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do’a.” (Ibrahim: 39).
Allah SWT memuji orang yang berdo’a kepada-Nya secara umum untuk kebaikkan keturunannya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku da kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Al-Ahqaf: 15).
Hal itu disebabkan jika seorang hamba meninggal dunia, maka amalnya terputus; kecuali tiga hal: “sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendo’akannya.” *
Faidah lainnya, bahwa sejumlah bukit dan tempat dalam pelaksanaan ibadah haji serta sejumlah ketentuan hukum yang terdapat di dalamnya mengandung keterangan yang berkaitan dengan tempat-tempat yang dipergunakan oleh Nabi Ibrahim AS dan keluarganya dalam menunaikan ibadah kepada Rabb mereka, keimanan kepada Allah dan para rasul-Nya dan anjuran supaya mecontoh semua perilaku para rasul; baik dalam urusan agama maupun dalam urusan dunia, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat.” (Al-Baqarah: 125).
Faidah lainnya adalah perintah membersihkan masjid Al-Haram (Baitullah) dari semua najis dan seluruh kemaksiatan baik ucapan maupun perbuatan karena mengagungkan Allah dan membantu atau menambah semangat orang-orang yang menunaikan ibadah di dalamnya serta membersihkan masjid-masjid lainnya; berdasarkan firman Allah SWT, “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud.” (Al-Baqarah: 125). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.” (An-Nur: 36).
Faidah lainnya, bahwa wasiat yang paling utama secara umum ialah wasiat yang dilakukan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ya’qub kepada anak-anaknya, yaitu wasiat untuk selalu komitmen menjalankan perintah agama dan bersatu di atasnya, ini adalah wasiat Allah untuk orang-orang terdahulu dan akan datang karena dengan wasiat itulah seseorang bisa mencapai kebahagiaan yang abadi dan selamat dari kejelekan dunia dan akhirat.
Faidah lainnya, bahwa seseorang yang beramal; selain diwajibkan kepadanya meyakini amalnya dan berusaha sungguh-sungguh dalam menunaikannya sehingga mencapai kesempurnaan; maka diwajibkan pula kepadanya untuk menyertakan perasaan takut serta penuh harap dalam menunaikannya, memohon kepada Rabbnya untuk menerimanya, menyempurnakan kekurangannya dan memohon ampunan dari cacat atau kekurangan yang terdapat di dalamnya, sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isma’il AS pada waktu membangun Baitullah, dimana keduanya melakukannya dalam gambaran yang sempurna.
Faidah lainnya, bahwa menyatukan di antara permohonan kepada Allah yang berkaitan dengan kebaikkan dalam urusan dunia dan permohonan yang berkaitan dengan kebaikkan dalam urusan agama merupakan jalan para nabi. Juga dalam berusaha mencapai kesuksesan dalam keduanya, dimana agama merupakan sumber pokok serta tujuan utama yang mesti dicapai mahluk, karena ia diciptakan untuk hal itu, sedang dunia merupakan perantara dan pembantu. Karena itulah, maka Nabi Ibrahim AS mendo’akan penduduk Baitul Haram supaya dikarunai kebaikkan dalam dua hal, dimana ia mengaitkan do’a tersebut dengan kebaikan dalam urusan dunia, karena kebaikkan dalam urusan dunia merupakan perantara timbulnya rasa syukur sebagaimana terungkap dalam do’anya: “… dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim: 37).
Faidah lainnya, bahwa kisah Nabi Ibrahim AS mengandung ketentuan syari’at yang terkait dengan etika memperlakukan tamu,** dan Allah memberitahukan kepadanya mengenai keadaan para tamunya; bahwa mereka adalah mahluk-mahluk yang mulia (para malaikat), yakni mereka itu adalah mahluk-mahluk yang dimuliakan di sisi Allah. Nabi Ibrahim AS memuliakan mereka sebagai tamunya dengan perkataan dan perbuatan. Memuliakan tamu adalah bagian dari keimanan. Nabi Ibrahim AS melayani dan menyambut mereka sebagai tamunya langsung oleh dirinya sebelum melakukan segala sesuatu. Ia menghidangkan makanan yang terbaik bagi mereka seperti daging sapi yang dibakar, tidak mengusir mereka supaya pergi ke tempat yang lain dan menghidangkan makanan kepada mereka dengan tutur kata yang lemah-lembut, seraya berkata, “Silahkan kamu makan.” (Adz-Dzariyat: 27).***
Faidah lainnya adalah disyari’atkannya ucapan salam, dimana orang yang harus memulainya adalah orang yang masuk (datang) dan orang yang berkendaraan dan wajib menjawabnya. Kemudian disyari’atkan mengetahui nama orang yang menjalin hubungan dengan kamu baik sahabat, karyawan atau tamu. Hal tersebut didasarkan kepada firman Alah SWT, “Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang tidak dikenal.” (Al-Hijr: 62). Yakni aku tidak mengenalmu, sehingga aku merasa senang jika kamu berkenan memperkenalkan dirimu kepadaku. Perkataan itu lebih halus daripada perkataan: “Aku tidak mengenalmu” atau perkataan lainnya yang setara dengan perkataan tersebut.
Faidah lainnya adalah anjuran kepada istri seseorang atau orang yang ditugasi mengurus urusan rumahnya hendaklah memiliki keteguhan hati dan menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sebagian mereka (para tamu) yang berkaitan dengan beberapa kebutuhan dan penunaian tugas-tugas penting rumah, karena Nabi Ibrahim AS pun ketika kedatangan tamunya segera menemui keluarganya, maka ia menemukan makanan yang dapat dihidangkan kepada tamunya dan ia tidak membiarkannya melainkan segera menghidangkannya.****
Faidah lainnya, bahwa kelahiran seorang anak dan kabar gembira yang diterima Sarah karenanya ketika telah lanjut usia merupakan mu’jizat bagi Nabi Ibrahim AS dan merupakan karamah bagi Sarah, sehingga dalam peristiwa itu terdapat mu’zijat seorang nabi dan karamah seorang wali.
Contoh lain yang setara dengan kasus tersebut adalah kabar gembira yang disampaikan oleh para malaikat kepada Maryam dengan kelahiran Nabi Isa AS dan kabar gembira yang disampaikan oleh para malaikat kepada Nabi Zakariya AS dan istrinya dengan kelahiran Nabi Yahya AS. Berkenaan dengan keberadaan Nabi Zakariya AS, maka Allah telah menjadikan tanda adanya kabar gembira dengan kelahiran Nabi Yahya AS, bahwa ia tidak dapat berbicara selama tiga hari, kecuali dengan kode dan isyarat, padahal ia dalam keadaan sehat dan tidak sedang sakit. Semuanya itu serta kejadian yang serupa termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, dan kejadian yang paling mengagumkan ialah penciptaan Nabi Adam AS dari (sari pati) tanah. Maha suci Allah Dzat yang Maha Mampu atas segala sesuatu.
Faidah lainnya adalah pujian dan sanjungan Allah yang ditujukan terhadap Nabi Ibrahim AS yang menghadap Rabbnya dengan hati yang bersih.
Allah Ta’ala berfirman, “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu’ara: 88-89). Keseluruhan pengertian yang terkandung dalam ayat di atas bahwa Nabi Ibrahim AS bersih dari semua keburukan dan sebab-sebabnya dan diliputi dengan kebaikkan, ketaatan dan kemuliaan; bersih dari segala yang samar yang tercela dalam ilmu serta keyakinan; bersih dari syahwat yang menghalangi antara seseorang dengan kesempurnaannya; bersih dari sifat sombong, riya, perselisihan, kemunafikan dan akhlak tercela dan bersih dari sifat benci, iri hati dan diliputi tauhid, iman, tawadhu’ kepada kebenaran dan mahluk, memberi nasehat kepada kaum muslimin dan senang beribadah kepada Allah dan mendatangkan manfaat bagi hamba-hamba Allah.
Faidah lainnya adalah apa yang dituturkan dalam kisah Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Harun AS dan Nabi Ilyas AS, “Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam.” (Ash-Shaffat: 79). Kemudian dalam ayat lain dikatakan, “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” (Ash-Shaffat: 109). Kemudian disusul oleh firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Ash-Shaffat: 80).
Allah SWT telah menjanjikan kepada setiap orang yang berbuat baik dalam beribadah kepadanya serta berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya bahwa Allah akan membalasnya dengan pujian yang baik serta do’a dari seluruh alam sesuai dengan derajat kebaikkannya, dan itu merupakan balasan pahala yang kontan (di dunia) dan balasan pahala yang ditangguhkan (di akhirat) dan hal itu termasuk kabar gembira dalam kehidupan dunia dan termasuk tanda-tanda kebahagiaan.
NB:
* Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, seraya bersabda: “Jika manusia meninggal, niscaya amalnya terputus; kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendo’akannya.” (HR. Muslim (1631), (14)). Dalam kitabnya Al-Hafizh Ibnu Rajab terdapat satu juz yang menjelaskan hadits tersebut.
** Pembicaraan ini merujuk kepada ayat tersebut di atas yang di dalamnya mengandung ketentuan mengenai etika dalam memperlakukan tamu tanpa ada penambahan di bawahnya seperti yang tertera dalam Ar-Risâlah At-Tabwikiyyah karya Ibnu Al-Qayyim (122:131).
*** Firman Allah Ta’ala: “Silahkan kamu makan.” (Adz-Dzariyat: 27). Perkataan tersebut adalah bentuk permohonan izin yang disampaikan dengan tutur kata yang lemah-lembut dan sopan. Berbeda sekali dengan seseorang yang berkata: “Letakkanlah tanganmu pada makanan, makanlah, majulah dan perkataan yang lainnya. (Ar-Risâlah At-Tabwikiyyah karya Ibnu Al-Qayyim, hal. 130).
**** Firman Allah SWT: “Maka ia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya.” (Adz-Dzariyat: 26), maka di dalamnya terdapat ajaran; bahwa memuliakan tamu itu cukup dengan makanan yang tersedia dalam keluarga, tidak perlu menghutang kepada para tetangganya dan tidak perlu pergi kepada selain keluarganya karena hidangan tamu itu adalah makanan yang terdapat pada keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar