Kisah Nabi Ibrahim As
Ditulis pada September
11, 2007 oleh Suryaningsih
Allah telah menceritakan dalam kitab-Nya biografi Nabi Ibrahim AS
dalam sejumlah ayat, karena di dalamnya terdapat teladan yang baik bagi kita,
dimana keteladanan itu secara umum dapat kita temukan pada biografi para nabi
dan secara secara khusus pada biografi Nabi Ibrahim AS.
Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada Nabi kita SAW dan kepada
kita supaya mengikuti ajaran agamanya dalam hal yang berkaitan dengan akidah,
akhlak serta ibadah baik yang berhubungan langsung dengan Allah maupun yang
berhubungan dengan manusia.
Allah Ta’ala memberi petunjuk kepada Nabi Ibrahim AS, mengajarinya
ilmu sejak kanak-kanak serta memperlihatkan kepadanya kerajaan langit dan bumi.
Karena itu, ia menjadi manusia yang paling agung dalam segi keyakinan, ilmu
serta kekuatan dalam urusan agama Allah serta kasih sayang kepada
hamba-hamba-Nya.
Allah mengutusnya kepada kaum musyrikin yang menyembah matahari, bulan dan bintang yaitu kaum ash-Shab’iah, yaitu suatu kaum yang paling jelek dan paling berbahaya terhadap manusia, sehingga Nabi Ibrahim AS menyeru mereka ke jalan Allah dengan berbagai macam cara.
Allah mengutusnya kepada kaum musyrikin yang menyembah matahari, bulan dan bintang yaitu kaum ash-Shab’iah, yaitu suatu kaum yang paling jelek dan paling berbahaya terhadap manusia, sehingga Nabi Ibrahim AS menyeru mereka ke jalan Allah dengan berbagai macam cara.
Pertama, Nabi Ibrahim AS menyeru mereka dengan cara-cara yang tidak
memungkinkan orang yang berakal menghindar darinya. Ketika mereka menyembah
tujuh buah planet termasuk di dalamnya matahari serta bulan, maka mereka pun
membangun gedung-gedung yang disebut al-Hayaakil (kuil-kuil).
Nabi Ibrahim AS berdialog dengan mereka: “Hai kaumku, setelah kami
memperhatikan dengan seksama, bahwa ternyata tidak satu pun dari planet-planet
itu yang memiliki sifat Uluhiyyah dan Rububiyyah (ketuhanan): “Ketika
malam menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah
Rabbku.” (Al-An’am: 76).
Dialog memiliki perbedaaan dengan pembicaraan lainnya dalam membahas
sejumlah masalah. Adapun perbedaan tersebut di antaranya: orang yang berdialog
akan mengatakan sesuatu yang diyakininya supaya dikemukakan hujjah kepadanya
dan ia pun akan mengemukakan hujjah kepada lawan bicaranya seperti Nabi Ibrahim
AS mengemukakan hujjah dalam kasus perusakan berhala-berhala ketika mereka
bertanya kepadanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap
ilah-ilah kami, hai Ibrahim?” (Al-Anbiya’: 62). Ketika itu Nabi
Ibrahim AS menunjuk berhala yang tidak dihancurkannya, seraya berkata, “Sebenarnya
patung yang besar itu yang melakukannya.” (Al-Anbiya’: 63).
Tujuan Nabi Ibrahim AS melakukan tindakan itu adalah memaksa mereka
supaya mengemukakan hujjah, dan ternyata hal itu berhasil.
Sehingga memudahkan kita untuk memahami perkataannya: “Inilah
Rabbku.” (Al-An’am: 76). Yakni jika bintang-bintang itu berhak
disebut ilah setelah memperhatikan keadaan dan sifatnya, maka bintang-bintang
itu pantas menjadi Rabbku. Sedang Nabi Ibrahim AS telah mengetahui berdasarkan
ilmu yakin, bahwa bintang-bintang tersebut tidak berhak disebut sebagai Rabb
atau ilah, melainkan hanya susunan atom. Akan tetapi dengan perkataannya itu,
Nabi Ibrahim AS bermaksud memaksa mereka supaya mengemukakan hujjah: “Tetapi
tatkala bintang itu tenggelam.” (Al-An’am: 76). Yakni tidak tampak
(menghilang), maka “Dia berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” (Al-An’am:
76).
Sesungguhnya mahluk yang keberadaannya antara ada dan tiada atau
tampak dan menghilang, niscaya setiap orang yang berakal akan meyakini bahwa
mahluk tersebut tidak sempurna, sehingga tidak berhak disebut ilah. Kemudian
Nabi Ibrahim AS beralih kepada bulan, dan ketika ia melihatnya terbit, seraya
berkata, “Inilah Rabbku.” Tetapi setelah bulan itu tenggelam dia
berkata, “Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah
aku termasuk orang-orang yang sesat.” (Al-An’am: 77). Kemudian Nabi
Ibrahim AS memperlihatkan kepada mereka rahmat Allah dan keselamatan dari-Nya
yang dikaruniakan kepadanya.
Nabi Ibrahim AS menggambarkan dirinya dalam gambaran yang sesuai
dengan mereka, akan tetapi tidak dalam gambaran Taqlid
(peniruan) melainkan dalam gambaran yang dimaksudkan untuk mengemukakan hujjah
mengenai ketuhanan bintang serta bulan yang kini menghilang. Menurut logika dan
keterangan nash, maka sangatlah jelas kebathilan mentuhankan keduanya. Karena
itulah, hingga sekarang aku belum memiliki keputusan tentang Rabb dan Ilah yang
agung.
Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian tatkala dia melihat matahari
terbit” , maka Nabi Ibrahim AS berkata, “Ini yang lebih
besar.” (Al-An’am: 78). Yakni lebih besar daripada bintang dan
bulan, tetapi apabila berlaku padanya ketentuan sebagaimana yang berlaku pada
keduanya, maka keberadaannya adalah seperti keduanya (tidak patut dijadikan
sebagai Ilah atau Rabb).
Allah Ta’ala berfirman, “… Tatkala matahari itu telah
terbenam.” (al-An’am: 78). Nabi Ibrahim AS telah menegaskan semua
pengakuannya yang telah lalu, bahwa beribadah kepada sesuatu yang suka
menghilang adalah perbuatan yang bathil.
Ketika itu Nabi Ibrahim AS mengharuskan mereka kepada kemestian
tersebut serta memaksa mereka supaya mengemukakan hujjah, seraya ia berkata, “Hai
kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku ….” (al-An’am: 78-79). Yakni
lahir serta bathinku. Nabi Ibrahim AS berkata, “Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan-Nya.” (al-An’am: 79).
Itulah hujjah yang logis dan jelas, bahwa Pencipta alam yang tinggi
dan rendah adalah Dzat yang harus disembah dengan cara mentauhidkan-Nya serta
ikhlas beribadah kepada-Nya, sedangkan tata surya, bintang-bintang dan planet
yang lainnya adalah mahluk yang diciptakan, yang tidak memiliki sifat-sifat
yang menjadikannya pantas disembah. Selanjutnya mereka menakut-nakuti Nabi
Ibrahim AS dengan berbagai macam siksaan serta ancaman dari ilah mereka yang
akan menimpakan keburukkan kepadanya. Hal itu menunjukkan bahwa orang-orang
musyrik ialah orang-orang yang memiliki khayalan yang kacau serta pandangan
yang rendah terhadap sesuatu yang mereka yakini, bahwa ilah-ilah mereka itu
akan memberikan manfaat kepada orang yang menyembahnya dan mendatangkan
kemadaratan kepada orang yang mengabaikannya atau mencelanya.
Kemudian Nabi Ibrahim AS berkata kepada mereka sebagai penjelasan
bahwa ia tidak takut sama sekali dengan ancaman atau siksaan ilah mereka, malah
ketakutan yang sebenarnya justru terdapat pada dirimu, seraya ia berkata, “Bagaimana
aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah),
padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang
Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka
manakah diantara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari
malapetaka), jika kamu mengetahui.” (al-An’am: 81).
Allah menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang umum yang mencakup
kisah tersebut dan kisah lainnya di sepanjang zaman. Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka
itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk.” (al-An’am: 82).
Kemudian Allah Ta’ala mengangkat derajat Nabi Ibrahim AS kekasih-Nya
dengan ilmu dan hujjah yang dikemukakannya, kemudian melemahkan mereka dalam
membela kebathilan mereka, tetapi mereka bungkam seribu bahasa dan tidak
mengemukakan hujjah kepadanya; sehingga nasehat, peringatan serta hujjah tidak
bermanfaat bagi mereka.
Nabi Ibrahim AS terus-menerus menyeru mereka supaya beribadah kepada
Allah dan melarang mereka dari ibadah yang biasa mereka lakukan dengan larangan
yang khusus dan yang umum. Adapun seruannya yang lebih khusus ditujukan kepada
Azar bapaknya, dimana ia mengajak bapaknya dengan berbagai cara yang
bermanfaat, tetapi “Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka
kalimat Rabbmu, tidaklah akan beriman. Meskipun datang kepada mereka segala
macam keterangan, hingga mereka menyaksikan adzab yang pedih.” (Yunus:
96-97).
Adapun di antara sejumlah seruannya yang disampaikan kepada bapaknya
adalah “ketika ia berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku, mengapa
kamu menyembah sesuatu yang tidak medengar, tidak melihat dan tidak dapat
menolong kamu sedikitpun. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku
sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku,
niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam:
42-43).
Perhatikanlah, betapa indahnya perkataan tersebut yang dapat memikat
hati (kecuali hati yang keras), dimana Nabi Ibrahim AS tidak mengatakan kepada
bapaknya: “Sesungguhnya ayahanda adalah seorang yang bodoh.” Hal itu
dimaksudkan supaya bapaknya tidak berpaling dan lari karena mendengar perkataan
yang kasar, melainkan ia berkata kepada bapaknya dengan perkataan sebagai
berikut: “Wahai bapakku, janganlah kamu meyembah setan. Sesungguhnya
setan itu durhaka kepada Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku
khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab oleh Yang Maha Pemurah, maka kamu
menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 44-45).
Nabi Ibrahim AS mengganti cara menyerunya dengan cara lain dengan
harapan mudah-mudahan bermanfaat bagi bapaknya, akan tetapi seiring dengan
seruannya maka bapaknya bertanya kepadanya: “Bencikah kamu kepada ilah-ilahku, hai
Ibrahim! Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan
tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” (Maryam: 46).
Begitulah kenyataan yang terjadi, dan Nabi Ibrahim AS tidak benci
dan tidak menanggapi perkataan bapaknya dengan sebagian bantahannya, tetapi
menanggapi keburukkan (ancaman besar) tersebut dengan kebaikkan, seraya
berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu.” (Maryam:
47). Yakni aku tidak akan berkata kepadamu, kecuali perkataan yang baik, yang
tidak mengandung kebencian dan kekasaran di dalamnya. Meskipun demikian, aku
tidak akan berputus asa memohonkan petunjuk bagimu: “… Aku akan meminta
ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam:
47). Yakni sesungguhnya Allah sangat baik dan penuh kasih sayang kepadaku. Dia
pun telah menjanjikan kasih sayang-Nya bagiku, membimbingku menuju arah yang
baik dan mengabulkan permohonanku.
Nabi Ibrahim AS dan kaumnya senantiasa terlibat dialog dan
perdebatan, dan ia selalu mematahkan dalil, hujjah dan keraguan mereka. Nabi
Ibrahim AS mampu mengalahkan hujjah mereka dengan hujjah yang agung dan
menghadapi kekasaran, kelaliman, kekuasaan serta kekuatan mereka tanpa rasa
takut dan khawatir.
Ketika pada suatu hari mereka bepergian keluar wilayah mereka untuk
mengadakan suatu perayaan dan Nabi Ibrahim AS ikut pergi bersama mereka, lalu
ia melihat ke arah bintang-bintang, seraya berkata, “Sesungguhnya aku
sakit.” (ash-Shafat: 89). Tindakan itu dilakukannya, karena ia
merasa khawatir akan terlewatkan melakukan perbuatan yang berbeda dengan
perayaan tersebut, sehingga tidak akan mendapatkan hasil yang diharapkannya,
karena ia secara terang-terangan menunjukkan kebencian atas perayaan tersebut
dan menentang keras keseriusan keluarganya dalam melaksanakannya. Setelah Nabi
Ibrahim AS merasa yakin bahwa mereka seluruhnya telah pergi ke gurun pasir,
maka ia segera pergi menuju bangunan tempat penyimpanan berhala-berhala dan
menghancurkan semua berhala hingga berkeping-keping kecuali sebuah berhala yang
paling besar yang dibiarkannya tetap utuh, supaya ia dapat memberikan hujjah
kepada mereka. Ketika mereka pulang dari perayaan itu maka mereka langsung
pergi mendatangi berhala-berhala mereka dengan penuh kecintaan dan ketika itu
mereka menyaksikan sebuah pemandangan yang sangat mengerikan yang disaksikan
para pemilik berhala-berhala itu, seraya mereka berkata, “Siapakah
yang melakukan perbuatan ini terhadap ilah-ilah kami, sesungguhnya dia termasuk
orang-orang yang zhalim.” Mereka berkata, “Kami
dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini.” (al-Anbiya’:
59-60). Yakni yang mencacinya dan menyifatinya dengan sifat-sifat yang kurang
pantas dan buruk, “yang bernama Ibrahim.” (al-Anbiya’: 60).
Setelah mereka meyakini bahwa Nabi Ibrahim AS yang telah menghancurkan
berhala-berhala tersebut, seraya berkata, “(Kalau demikian) bawalah dia dengan
cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.” (al-Anbiya’:
61). Yakni mempersaksikannya di depan orang banyak dan mencacinya dengan cacian
yang kasar. Selanjutnya mereka menjatuhkan hukuman kepadanya.
Tindakan itulah yang justru dikehendaki Nabi Ibrahim AS supaya dapat
memperlihatkan kebenaran di depan mata dan pendengaran mereka. Setelah
orang-orang hadir dan berkumpul maka mereka menghadirkan Nabi Ibrahim AS,
seraya bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap
ilah-ilah kami, hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab, “Sebenarnya patung yang besar
itu yang melakukannya.” (al-Anbiya’: 62-63). Nabi Ibrahim AS
menunjuk sebuah berhala yang paling yang selamat dari kehancuran. Dengan
isyarat tersebut, maka mereka dihadapkan pada dua pilihan:
- Mengakui kebenaran, karena tidaklah masuk akal bagi siapa pun
bahwa sebuah benda mati yang terbuat dari materi tidak mungkin melakukan
perbuatan itu.
- Mereka akan mengatakan ya bahwa berhala yang besar itulah yang
melakukannya dan kamu selamat dari kutukannya. Nabi Ibrahim AS yakin, bahwa
mereka tidak akan mengatakan kemungkinan yang lain.
Nabi Ibrahim AS berkata, “… maka tanyakanlah kepada berhala
itu, jika mereka dapat berbicara.” (al-Anbiya’: 63). Perkataan itu
merupakan kritikan terhadap sesuatu yang mustahil yang mereka ketahui.
Ketika itu kebenaran terlihat dengan jelas dan mereka yang hadir
mengetahui kebenaran itu sehingga mereka berkata terhadap diri mereka sendiri: “Sesungguhnya
kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)”, kemudian
kepala mereka jadi tertunduk ….” (Al-Anbiya’: 64). Yakni tidaklah
pengakuan mereka akan bathilnya ketuhanan berhala-berhala itu, melainkan hanya
dalam waktu sementara. Setelah itu, mereka langsung mengemukakan hujjah yang
tidak mungkin mengingkari ketuhanan berhala-berhala itu, sehingga mereka pun
segera kembali kepada keyakinan yang bathil yang telah berakar dalam hati
mereka dan menetapkan sifat-sifat yang pantas bagi berhala-berhala itu; jika
ditemukan sifat-sifat yang menafikan ketuhanan berhala-berhala itu, dimana
sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang baru yang disifatkan, dan
setelah itu; sifat itu hilang. “… kemudian kepala mereka jadi
tertunduk, (lalu berkata): “Sesungguhnya kamu(hai Ibrahim) telah mengetahui
bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.” (Al-Anbiya’:
64-65).
Mereka mendapat celaan dan cemoohan setelah diutarakan kepada mereka
hujjah yang dengannya diketahui bantahan yang membuat kepala-kepala yang
bersaksi tertunduk. Nabi Ibrahim AS berkata kepada mereka, “Maka
mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi
manfa’at sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu.” Ah
(celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak
memahami.” (al-Anbiya’: 66-67). Jika saja mereka memiliki akal yang
sehat, niscaya mereka tidak akan beribadah kepada sesuatu yang tidak dapat
mendatangkan manfaat atau madharat, dan tidak dapat membela dirinya dari orang
yang melakukan kejahatan kepadanya.
Ketika kebingungan mereka dikalahkan dengan dalil yang nyata dan
hujjah yang kuat, maka mereka beralih menggunakan kekuatan, kekasaran dan
kekerasan mereka untuk menjatuhkan siksaan kepada Nabi Ibrahim AS, seraya
berkata, “Bakarlah dia dan bantulah ilah-ilah kamu, jika kamu
benar-benar hendak bertindak.” (al-Anbiya’: 68). Mereka menyalakan
api yang besar sekali dan melemparkan Nabi Ibrahim AS ke dalam kobaran api
tersebut.
Dalam menghadapi keadaan tersebut, maka Nabi Ibrahim AS berkata,
“Cukuplah Allah menjadi penolongku dan Allah adalah sebaik-baiknya Pelindung.”*
Allah Ta’ala berfirman kepada api: “Hai api menjadi
dinginlah, dan menjaddi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (al-Anbiya’:
69), sehingga tidak membahayakannya sedikitpun.
Allah Ta’ala berfirman, “Mereka hendak berbuat makar terhadap
Ibrahim.” (al-Anbiya’: 70), yakni untuk menolong ilah-ilah mereka
dan menanamkan ketundukan dan pengagungan kepadanya dalam hati mereka dan hati
para pengikut mereka. Akibat dari perbuatan makar tersebut adalah kembali ke diri
mereka sendiri dan Nabi Ibrahim AS mendapatkan kemenangan di hadapan
orang-orang tertentu dan masyarakat umum dan di hadapan para pemimpin serta
rakyat jelata.
Penentangan terhadap Nabi Ibrahim AS hingga dilakukan raja mereka
(Namrud) berkenaan dengan Rabbnya dengan sikap sombong dan lalim “karena
Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan).” (al-Baqarah:
258). Nabi Ibrahim AS menjawab, “Rabbku ialah Yang menghidupkan dan
mematikan.” Orang itu berkata, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan.” (al-Baqarah:
258).
Nabi Ibrahim AS mematahkan dalil raja itu dengan cara yang jitu,
seraya berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka
terbitkanlah ia dari barat”, lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (al-Baqarah:
258).
* Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, seraya berkata: “Cukuplah
Allah sebagai penolong kami dan Allah adalah sebaik-baiknya Pelindung”
diucapkan Ibrahim AS ketika dilemparkan ke dalam kobaran api, dan Muhammad SAW
mengucapkannya saat dikatakan kepadanya: “Sesungguhnya manusia telah
mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”,
maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah
Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baiknya Pelindung.” (Ali
Imran: 173). (HR. al-Bukhari).
Allah telah menyempurnakan ni’mat yang dikaruniakan kepada Nabi
Ibrahim AS dan telah mencurahkan rahmat kepada Sarah istrinya yang sudah tua,
yang mandul dan merasa putus asa dengan memberinya kebahagiaan dengan kelahiran
seorang anak yang mulia yaitu Nabi Ishaq AS, dan setelah kelahiran Ishaq AS
disusul dengan kelahiran puteranya yang lain yaitu Nabi Ya’qub AS.
Ketika Allah mengutus Nabi Luth AS kepada kaumnya dan mereka
mengusirnya, maka saat itu Allah menetapkan balasan siksa atas mereka. Nabi
Luth AS adalah murid Nabi Ibrahim AS, dan Nabi Ibrahim AS memiliki sejumlah hak
terhadapnya, sehingga para malaikat yang diutus untuk membinasakan kaum Nabi
Luth AS menemui Nabi Ibrahim AS dalam wujud manusia.
Ketika para malaikat menemuinya dan mengucapkan salam kepadanya maka
Nabi Ibrahim AS menjawab ucapan salam mereka dan segera menyambut mereka dengan
sambutan layaknya kepada tamu. Allah Ta’ala telah memberinya rezki yang
berlimpah, kemuliaan yang agung serta rumahnya menjadi tempat singgah bagi para
tamu.
Nabi Ibrahim AS segera mendatangi keluarganya secara
sembunyi-sembunyi tanpa diketahui para tamunya dan membawa anak sapi yang
gemuk, lalu membakar dagingnya di atas alat pemanggang daging dan
menghidangkannya ke hadapan mereka, seraya berkata, “Silahkan kamu
makan.” (Adz-Dzariyat: 27).
Allah SWT berfirman, “Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka.” (Hud: 70). Karena ia menyangka bahwa mereka itu adalah para pencuri.*
Allah SWT berfirman, “Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka.” (Hud: 70). Karena ia menyangka bahwa mereka itu adalah para pencuri.*
Kemudian “Malaikat itu berkata, “Jangan kamu takut. sesungguhnya
kami adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Luth.” (Hud:
70).
Sarah memberikan pelayanan yang maksimal kepada mereka dan mereka
memberikan kabar gembira kepada Nabi Ibrahim AS dengan kelahiran seorang putera
yang alim (Ishak). Mendapat kabar tersebut, maka Sarah menjerit serta menepuk
wajahnya dengan penuh keheranan, sehingga bercampur antara perasaan bahagia,
bingung serta ragu-ragu, seraya berkata, “Sungguh mengherankan, apakah aku akan
melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua.” (Hud:
72). Sedang sebelumnya aku adalah seorang perempuan yang mandul “dan
ini suamiku dalam keadaan yang sudah tua pula Sesungguhnya ini benar-benar
suatu yang sangat aneh.” (Hud: 72). Allah memberikan kebahagiaan
kepada keduanya dengan kelahiran Nabi Ishaq AS yang kemudian disusul dengan
kelahiran Nabi Ya’qub AS.
Berkenaan dengan kebahagiaan itu, maka Nabi Ibrahim AS memuji Allah
atas kesempurnaan ni’mat-Nya, seraya berkata, “Segala puji bagi
Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan
Ishaq.Sesungguhnya Rabbku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do’a.” (Ibrahim:
39).
CATATAN:
* Ketika Nabi Ibrahim AS melihat para tamunya tidak memakan makanan
yang dihidangkannya, maka ia pun merasa takut bahwa mereka mempunyai maksud
jahat, karena jika tamu berkenan memakan makanan yang dihidangkan tuan rumah,
niscaya hal itu dapat mendatangkan ketentraman kepada tuan rumah. Lihat kitab ar-Risaalah
at-Tabwikiyyah (hal. 130)
Perlu diketahui bahwa semua yang telah dikisahkan oleh Allah kepada
kita dari biografi Nabi Ibrahim AS, maka kita diperintahkan supaya
memperhatikannya dengan perintah yang bersifat khusus:
Allah Ta’ala berfirman, “(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.” (Al-Hajj: 78). Yakni hendaklah kamu mengikutinya. Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” (An-Nahl: 123). Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata): “Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (Al-Mumtahanah: 4).
Allah Ta’ala berfirman, “(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.” (Al-Hajj: 78). Yakni hendaklah kamu mengikutinya. Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” (An-Nahl: 123). Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata): “Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (Al-Mumtahanah: 4).
Apa yang disampaikan Nabi Ibrahim AS mengenai masalah tauhid,
pokok-pokok agama, keyakinan, akhlak dan semua yang dikisahkan kepada kita
tentang beritanya, maka mengikutinya termasuk pengamalan dari ajaran agama
kita. Karena perintah itu masih bersifat umum yang mencakup seluruh
perilakunya, maka Allah mengecualikan salah satu perilakunya sebagaimana
ditegaskan di dalam firman-Nya, “Kecuali perkataan Ibrahim kepada
bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu.” (Al-Mumtahanah:
4). Janganlah kamu mengikutinya dalam memohonkan ampunan bagi orang-orang
musyrik. Adapun permohonan ampunan Nabi Ibrahim AS bagi bapaknya merupakan
suatu janji yang telah dijanjikan kepadanya. Ketika Allah Ta’ala menjelaskan
kepadanya bahwa bapaknya termasuk musuh Allah, maka ia pun berlepas diri
darinya.
Faidah lainnya, bahwa Allah SWT telah menjadikan Nabi Ibrahim AS
sebagai kekasih-Nya, yaitu orang yang memiliki derajat yang tinggi dalam hal
kecintaan (kepada Allah), dimana tidak ada seorang pun yang mampu mencapai
derajat tersebut, kecuali dua orang kekasih-Nya; yaitu Nabi Ibrahim AS dan Nabi
Muhammad SAW.
Faidah lainnya, bahwa berbagai macam kemuliaan telah dikaruniakan
Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS, dimana Allah telah menjadikan keturunannya
sebagai nabi dan memberinya kitab. Selain itu telah keluar dari tulang sulbinya
dua golongan umat, yang keduanya merupakan bangsa-bangsa Arab yang mempunyai
kedudukan yang tinggi dan Bani Israil. Allah telah memilihnya untuk membangun
rumah-Nya (Baitullah) yang merupakan rumah yang mulia dan rumah yang pertama
dibangun untuk dijadikan sebagai tempat beribadah, memberinya anak-anak setelah
tua atau lanjut usia, yang banyak diceritakan di barat dan timur, hati manusia
dipenuhi oleh perasaan cinta kepadanya dan lidah mereka banyak memberikan
sanjungan dan pujian kepadanya.
Faidah lainnya, bahwa Allah telah meninggikan derajat Nabi Ibrahim
AS dengan ilmu, keyakinan dan kekuatan hujjah. Allah Ta’ala berfirman, “Dan
demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang
terdapat) dilangit dan dibumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu
termasuk orang-orang yang yakin.” (Al-An’am: 75). Kemudian dalam
ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Dan itulah hujjah Kami yang Kami
berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami
kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui.” (Al-An’am: 83).
Kerinduannya kepada pencapaian tujuan akhir dan puncak ilmu
diperlihatkannya dengan pertanyaan yang diajukannya kepada Rabbnya, sebagaimana
disinyalir oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, “Dan (ingatlah)
ketika Ibrahim berkata, “Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau
menghidupkan orang-orang yang mati.” Allah berfirman, “Apakah kamu belum
percaya.” Ibrahim menjawab, “Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah
tetap hati saya.” Allah berfirman, “(Kalau demikian) ambillah empat ekor
burung, lalu jinakanlah burung-burung itu kepadamu, kemudian letakanlah
tiap-tiap seekor daripadanya atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah dia,
niscaya dia akan datang kepada kamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 260).
Faidah lainnya, bahwa seseorang yang berniat melakukan ketaatan
serta mengerahkan kemampuannya dalam mengusahakan sebab-sebab yang dapat
mewujudkan niatnya dan ia menghadapi rintangan yang menghalangi kesempurnaan
ketaatannya. Meski ketaatannya tidak sempurna, tetapi Allah tetap memberinya
pahala yang sempurna, sebagaimana Allah firmankan di dalam ayat yang berkenaan
dengan kasus orang yang berhijrah yang wafat sebelum sampai ke tempat yang
dituju.
Juga sebagaimana Allah firmankan dalam ayat yang berkenaan dengan
kisah penyembelihan Nabi Isma’il AS, bahwa Allah telah menyempurnakan balasan
pahala bagi Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isma’il AS ketika keduanya berserah diri
kepada Allah dan mentaatiNya. Kemudian Allah Ta’ala menghilangkan kesulitan itu
dari keduanya serta membalas keduanya dengan balasan yang sempurna; baik
balasan yang bersifat duniawi maupun yang bersifat ukhrawi.
Faidah lainnya, bahwa apa yang terdapat dalam kisah Nabi Ibrahim AS
yang berkenaan dengan etika berdebat, cara-caranya, langkah-langkah yang
bermanfaat (tepat), tata cara mematahkan argumentasi lawan berdebat dengan
caca-cara yang jelas yang diketahui orang-orang yang berakal; menggiring lawan
berdebat kepada penyadaran akan kebathilan madzhabnya dan mengemukakan argumen
kepada orang-orang yang ingkar dan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang
patut mendapat petunjuk.
Faidah lainnya, bahwa di antara ni’mat Allah kepada seorang hamba
ialah pemberian anak-anak yang shalih, dan ia wajib memuji Allah dan berdo’a
kepada-Nya untuk kebaikan keturunannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
Ibrahim AS yang tertera dalam perkataannya: “Segala puji bagi Allah yang telah
menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Rabbku
benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do’a.” (Ibrahim: 39).
Allah SWT memuji orang yang berdo’a kepada-Nya secara umum untuk
kebaikkan keturunannya, “Kami perintahkan kepada manusia
supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan
susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila ia telah dewasa dan
umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku da kepada ibu
bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai;
berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri.” (Al-Ahqaf: 15).
Hal itu disebabkan jika seorang hamba meninggal dunia, maka amalnya
terputus; kecuali tiga hal: “sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat
atau anak shalih yang mendo’akannya.” *
Faidah lainnya, bahwa sejumlah bukit dan tempat dalam pelaksanaan
ibadah haji serta sejumlah ketentuan hukum yang terdapat di dalamnya mengandung
keterangan yang berkaitan dengan tempat-tempat yang dipergunakan oleh Nabi
Ibrahim AS dan keluarganya dalam menunaikan ibadah kepada Rabb mereka, keimanan
kepada Allah dan para rasul-Nya dan anjuran supaya mecontoh semua perilaku para
rasul; baik dalam urusan agama maupun dalam urusan dunia, sebagaimana firman
Allah Ta’ala, “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat.” (Al-Baqarah:
125).
Faidah lainnya adalah perintah membersihkan masjid Al-Haram
(Baitullah) dari semua najis dan seluruh kemaksiatan baik ucapan maupun
perbuatan karena mengagungkan Allah dan membantu atau menambah semangat
orang-orang yang menunaikan ibadah di dalamnya serta membersihkan masjid-masjid
lainnya; berdasarkan firman Allah SWT, “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim
dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf,
yang ruku’, dan yang sujud.” (Al-Baqarah: 125). Dalam ayat lain
Allah berfirman, “Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah
diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu
pagi dan waktu petang.” (An-Nur: 36).
Faidah lainnya, bahwa wasiat yang paling utama secara umum ialah
wasiat yang dilakukan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ya’qub kepada anak-anaknya,
yaitu wasiat untuk selalu komitmen menjalankan perintah agama dan bersatu di
atasnya, ini adalah wasiat Allah untuk orang-orang terdahulu dan akan datang
karena dengan wasiat itulah seseorang bisa mencapai kebahagiaan yang abadi dan
selamat dari kejelekan dunia dan akhirat.
Faidah lainnya, bahwa seseorang yang beramal; selain diwajibkan
kepadanya meyakini amalnya dan berusaha sungguh-sungguh dalam menunaikannya
sehingga mencapai kesempurnaan; maka diwajibkan pula kepadanya untuk
menyertakan perasaan takut serta penuh harap dalam menunaikannya, memohon
kepada Rabbnya untuk menerimanya, menyempurnakan kekurangannya dan memohon
ampunan dari cacat atau kekurangan yang terdapat di dalamnya, sebagaimana yang
telah dilakukan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isma’il AS pada waktu membangun
Baitullah, dimana keduanya melakukannya dalam gambaran yang sempurna.
Faidah lainnya, bahwa menyatukan di antara permohonan kepada Allah
yang berkaitan dengan kebaikkan dalam urusan dunia dan permohonan yang
berkaitan dengan kebaikkan dalam urusan agama merupakan jalan para nabi. Juga
dalam berusaha mencapai kesuksesan dalam keduanya, dimana agama merupakan
sumber pokok serta tujuan utama yang mesti dicapai mahluk, karena ia diciptakan
untuk hal itu, sedang dunia merupakan perantara dan pembantu. Karena itulah,
maka Nabi Ibrahim AS mendo’akan penduduk Baitul Haram supaya dikarunai
kebaikkan dalam dua hal, dimana ia mengaitkan do’a tersebut dengan kebaikan
dalam urusan dunia, karena kebaikkan dalam urusan dunia merupakan perantara
timbulnya rasa syukur sebagaimana terungkap dalam do’anya: “…
dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim:
37).
Faidah lainnya, bahwa kisah Nabi Ibrahim AS mengandung ketentuan
syari’at yang terkait dengan etika memperlakukan tamu,** dan Allah
memberitahukan kepadanya mengenai keadaan para tamunya; bahwa mereka adalah
mahluk-mahluk yang mulia (para malaikat), yakni mereka itu adalah mahluk-mahluk
yang dimuliakan di sisi Allah. Nabi Ibrahim AS memuliakan mereka sebagai
tamunya dengan perkataan dan perbuatan. Memuliakan tamu adalah bagian dari
keimanan. Nabi Ibrahim AS melayani dan menyambut mereka sebagai tamunya
langsung oleh dirinya sebelum melakukan segala sesuatu. Ia menghidangkan
makanan yang terbaik bagi mereka seperti daging sapi yang dibakar, tidak mengusir
mereka supaya pergi ke tempat yang lain dan menghidangkan makanan kepada mereka
dengan tutur kata yang lemah-lembut, seraya berkata, “Silahkan kamu makan.”
(Adz-Dzariyat: 27).***
Faidah lainnya adalah disyari’atkannya ucapan salam, dimana orang
yang harus memulainya adalah orang yang masuk (datang) dan orang yang
berkendaraan dan wajib menjawabnya. Kemudian disyari’atkan mengetahui nama
orang yang menjalin hubungan dengan kamu baik sahabat, karyawan atau tamu. Hal
tersebut didasarkan kepada firman Alah SWT, “Sesungguhnya kamu adalah orang-orang
yang tidak dikenal.” (Al-Hijr: 62). Yakni aku tidak mengenalmu,
sehingga aku merasa senang jika kamu berkenan memperkenalkan dirimu kepadaku.
Perkataan itu lebih halus daripada perkataan: “Aku tidak mengenalmu” atau
perkataan lainnya yang setara dengan perkataan tersebut.
Faidah lainnya adalah anjuran kepada istri seseorang atau orang yang
ditugasi mengurus urusan rumahnya hendaklah memiliki keteguhan hati dan
menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sebagian mereka (para tamu) yang
berkaitan dengan beberapa kebutuhan dan penunaian tugas-tugas penting rumah,
karena Nabi Ibrahim AS pun ketika kedatangan tamunya segera menemui
keluarganya, maka ia menemukan makanan yang dapat dihidangkan kepada tamunya
dan ia tidak membiarkannya melainkan segera menghidangkannya.****
Faidah lainnya, bahwa kelahiran seorang anak dan kabar gembira yang
diterima Sarah karenanya ketika telah lanjut usia merupakan mu’jizat bagi Nabi
Ibrahim AS dan merupakan karamah bagi Sarah, sehingga dalam peristiwa itu
terdapat mu’zijat seorang nabi dan karamah seorang wali.
Contoh lain yang setara dengan kasus tersebut adalah kabar gembira
yang disampaikan oleh para malaikat kepada Maryam dengan kelahiran Nabi Isa AS
dan kabar gembira yang disampaikan oleh para malaikat kepada Nabi Zakariya AS
dan istrinya dengan kelahiran Nabi Yahya AS. Berkenaan dengan keberadaan Nabi
Zakariya AS, maka Allah telah menjadikan tanda adanya kabar gembira dengan
kelahiran Nabi Yahya AS, bahwa ia tidak dapat berbicara selama tiga hari,
kecuali dengan kode dan isyarat, padahal ia dalam keadaan sehat dan tidak
sedang sakit. Semuanya itu serta kejadian yang serupa termasuk tanda-tanda
kekuasaan Allah SWT, dan kejadian yang paling mengagumkan ialah penciptaan Nabi
Adam AS dari (sari pati) tanah. Maha suci Allah Dzat yang Maha Mampu atas
segala sesuatu.
Faidah lainnya adalah pujian dan sanjungan Allah yang ditujukan
terhadap Nabi Ibrahim AS yang menghadap Rabbnya dengan hati yang bersih.
Allah Ta’ala berfirman, “(yaitu) di hari harta dan anak-anak
laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati
yang bersih.” (Asy-Syu’ara: 88-89). Keseluruhan pengertian yang
terkandung dalam ayat di atas bahwa Nabi Ibrahim AS bersih dari semua keburukan
dan sebab-sebabnya dan diliputi dengan kebaikkan, ketaatan dan kemuliaan;
bersih dari segala yang samar yang tercela dalam ilmu serta keyakinan; bersih
dari syahwat yang menghalangi antara seseorang dengan kesempurnaannya; bersih
dari sifat sombong, riya, perselisihan, kemunafikan dan akhlak tercela dan
bersih dari sifat benci, iri hati dan diliputi tauhid, iman, tawadhu’ kepada
kebenaran dan mahluk, memberi nasehat kepada kaum muslimin dan senang beribadah
kepada Allah dan mendatangkan manfaat bagi hamba-hamba Allah.
Faidah lainnya adalah apa yang dituturkan dalam kisah Nabi Nuh AS,
Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Harun AS dan Nabi Ilyas AS, “Kesejahteraan
dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam.” (Ash-Shaffat: 79). Kemudian
dalam ayat lain dikatakan, “Kesejahteraan dilimpahkan atas
Ibrahim.” (Ash-Shaffat: 109). Kemudian disusul oleh firman Allah
Ta’ala, “Sesungguhnya demikianlah Kami memberikan balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik.” (Ash-Shaffat: 80).
Allah SWT telah menjanjikan kepada setiap orang yang berbuat baik
dalam beribadah kepadanya serta berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya bahwa Allah
akan membalasnya dengan pujian yang baik serta do’a dari seluruh alam sesuai
dengan derajat kebaikkannya, dan itu merupakan balasan pahala yang kontan (di
dunia) dan balasan pahala yang ditangguhkan (di akhirat) dan hal itu termasuk
kabar gembira dalam kehidupan dunia dan termasuk tanda-tanda kebahagiaan.
NB:
* Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, seraya bersabda: “Jika manusia meninggal, niscaya amalnya terputus; kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendo’akannya.” (HR. Muslim (1631), (14)). Dalam kitabnya Al-Hafizh Ibnu Rajab terdapat satu juz yang menjelaskan hadits tersebut.
* Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, seraya bersabda: “Jika manusia meninggal, niscaya amalnya terputus; kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendo’akannya.” (HR. Muslim (1631), (14)). Dalam kitabnya Al-Hafizh Ibnu Rajab terdapat satu juz yang menjelaskan hadits tersebut.
** Pembicaraan ini merujuk kepada ayat tersebut di atas yang di
dalamnya mengandung ketentuan mengenai etika dalam memperlakukan tamu tanpa ada
penambahan di bawahnya seperti yang tertera dalam Ar-Risâlah At-Tabwikiyyah
karya Ibnu Al-Qayyim (122:131).
*** Firman Allah Ta’ala: “Silahkan kamu makan.” (Adz-Dzariyat:
27). Perkataan tersebut adalah bentuk permohonan izin yang disampaikan dengan
tutur kata yang lemah-lembut dan sopan. Berbeda sekali dengan seseorang yang
berkata: “Letakkanlah tanganmu pada makanan, makanlah, majulah dan perkataan
yang lainnya. (Ar-Risâlah At-Tabwikiyyah karya Ibnu Al-Qayyim, hal. 130).
**** Firman Allah SWT: “Maka ia pergi dengan diam-diam
menemui keluarganya.” (Adz-Dzariyat: 26), maka di dalamnya terdapat
ajaran; bahwa memuliakan tamu itu cukup dengan makanan yang tersedia dalam
keluarga, tidak perlu menghutang kepada para tetangganya dan tidak perlu pergi
kepada selain keluarganya karena hidangan tamu itu adalah makanan yang terdapat
pada keluarga.
Filed under: Shirah Nabi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar